SAHAM DAN KESEJAHTERAAN KARYAWAN
Sistem bagi hasil sebagai bentuk
kompensasi kepada karyawan telah berlangsung sejak lama. Pada zaman
feudalisme, para tuan tanah menyadari bahwa memperkerjakan budak untuk
mengurus ladang dan perkebunan tidak ekonomis. Mereka tetap
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk memelihara dan memberi
makan budak-budak tersebut, namun disisi lain para budak tidak pernah
menunjukkan antusiasme mereka dalam melakukan pekerjaan, sehingga
produktivitas mereka rendah. Sistem perbudakan lalu dihapuskan, para
tuan tanah lalu memperkerjakan buruh tani dan buruh ladang yang diupah
dengan menggunakan sistem bagi hasil. Namun sistem ini dirasakan tetap
tidak manusiawi karena proporsi yang didapatkan oleh para buruh tani
tidak sebanding dengan proporsi yang diterima para tuan tanah tersebut,
selain itu jumlah penghasilan yang diterima oleh para buruh tani tidak
menentu sehingga menimbulkan ketidakpastian untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka. Pada zaman merkantilisme, sistem bagi hasil diganti
menjadi sistem upah tetap (fix income) yang regulasinya diatur oleh
pemerintah.
Walaupun sistem bagi hasil dianggap
usang dan tidak manusiawi, tidak berarti sistem tersebut hilang begitu
saja. Hingga zaman Revolusi Industri sistem ini masih diterapkan oleh
perusahaan-perusahaan kecil dan perusahaan-perusahaan keluarga, tentu
saja dengan proporsi yang lebih adil. A. R. J. Turgot, seorang ahli
ekonomi berkebangsaan Perancis, adalah salah seorang yang melihat
keuntungan dari sistem bagi hasil ini. Pada tahun 1775 beliau
menerapkan sistem bagi hasil dengan struktur proporsi yang lebih baik
di perusahaan pengecatan rumah Maison Leclaire. Sistem bagi hasil
yang diterapkan pada perusahaan tersebut berbentuk tunai yang langsung
dibayarkan kepada para pekerjanya. Perusahaan yang pertama kali
memberlakukan sistem bagi hasil di Amerika Serikat adalah New Geneva,
PA - sebuah perusahaan yang memproduksi barang pecah belah - yang
dipimpin oleh Albert Gallatin pada tahun 1794. Sistem ini bejalan
efektif dan terbukti mampu meningkatkan kinerja para pekerja perusahaan
tersebut, namun belum banyak perusahaan yang terorganisir menerapkan
sistem bagi hasil tersebut.
Ide tentang penerapan sistem bagi hasil
kemudian digagas lagi oleh Chaler Babbage (1792-1871) melalui bukunya
On the Economy of Machinery and Manufactures yang diterbitkan pada
tahun 1832. Dalam buku tersebut Babbage menyatakan bahwa pekerja dan
pemilik perusahaan harus memperoleh keuntungan mutual, oleh karena itu
para pekerja harus menikmati sebagian keuntungan dari perusahaan
melalui pemberian bonus kerja selain gaji yang telah mereka terima.
Babbage mengklaim bahwa dengan menerapkan sistem tersebut baik pekerja
maupun pemilik perusahaan akan memperoleh keuntungan karena setiap
pekerja akan mempunyai rasa memiliki terhadap perusahaan, dan oleh
karena itu mereka akan bekerja lebih baik dan mencegah setiap tindakan
yang akan merugikan perusahaan agar bonus yang mereka terima meningkat.
Selain itu tidak akan ada lagi konflik kepentingan antara pihak
manajemen dan pekerja karena semuanya memiliki kepentingan yang sama.
Gagasan Babbage diterima oleh banyak
pihak dan bahkan dikembangkan sehingga memiliki banyak variasi sistem
insentif. Henry R. Towne menyarankan untuk memberikan insentif dengan
sistem bagi hasil yang dibagikan secara proporsional per departemen,
sementara Frederick A. Hasley lebih memilih untuk dibagikan secara
proporsional menurut kinerja seseorang. Banyak perusahaan besar mulai
menerapkan sistem bagi hasil melalui pemberian bonus kepada
karyawannya, setidaknya terdapat 30 perusahaan besar yang menerapkan
sistem ini termasuk John Wannamaker Dry Goods, Pillsbury Flour, Yale
and Towne, Proctor and Gamble (1887), Sears (1916), Kodak, dan
Johnson's Wax (1917).
Pada saat pertumbuhan ekonomi Amerika
Serikat menggeliat pada tahun 1920-an, banyak pengusaha mengalihkan
sistem insentif yang diberikan kepada karyawannya, dari berbentuk bagi
hasil tunai menjadi sistem kepemilikan saham perusahaan melalui program
employee stock ownership plans (ESOPs). Dengan memiliki sebagian saham
perusahaan, para pekerja memperoleh tambahan penghasilan melalui
dividen yang dibagikan setiap tahun, bahkan setelah mereka tidak lagi
bekerja di perusahaan tersebut. Selain itu mereka juga dapat menjual
saham yang mereka miliki di pasar modal. Sistem ESOP ini juga disukai
oleh para pemilik perusahaan karena, walaupun proporsi kepemilikan
mereka berkurang, dengan menerapkan sistem ESOP perusahaan mendapatkan
berbagai potongan dan keringanan pajak.
Namun peristiwa Black Tuesday yang
diikuti depresi yang berkepanjangan membuat sistem ESOP ini gagal.
Memiliki saham pada saat itu bagaikan memakan buah simalakama, banyak
pemilik saham yang menyesal karena saham yang mereka miliki tidak lagi
berharga, sementara bagi pemilik saham yang telah menjual saham mereka
sebelum Black Tuesday juga tetap tidak merasakan manfaat dari hasil
penjualan tersebut karena tergerus inflasi yang sangat tinggi dan
sebagian hilang bersama bank-bank yang dilikuidasi. Akibatnya ESOP
tidak lagi diminati, hasil survey pada tahun 1934 yang diselenggarakan
oleh the National Industrial Conference Board menyebutkan bahwa 42 %
perusahaan telah berhenti menggunakan sistem ESOP, pada tahun 1937
meningkat menjadi 69%, dan pada tahun 1939 hanya tersisa 37 perusahaan
yang masih menerapkan sistem ESOP. Sistem ESOP kembali digunakan oleh
perusahaan setelah ekonomi Amerika Serikat mulai pulih pada tahun
1940-an, dan menjadi trend pada tahun 1950-an.
Pada tahun 1974 Kongres Amerika Serikat
meloloskan Employee Retirement Income Security Act (ERISA) yang
mengatur tentang standar minimum untuk program pensiun bagi perusahaan
swasta dan pengurangan pajak terkait dengan penerapan program
kesejahteraan karyawan. ERISA-lah yang kemudian mendasari
dikeluarkannya Internal Revenue Code (IRC) pada tahun 1978 yang
merupakan prosedur standar sistem penetapan pajak oleh Internal Revenue
Service (IRS). Pasal 401(k) adalah salah satu pasal dalam IRC yang
terkenal, pasal tersebut mengatur tentang penyelenggaraan program
pensiun yang layak bagi karyawan melalui sistem bagi hasil dan bonus
saham. Dengan adanya insentif pajak tersebut, banyak perusahaan yang
tertarik menerapkan program 401(k) dengan mengikutsertakan karyawannya
dalam reksadana. Huges Air Craft Company adalah perusahaan pertama yang
menerapkan program 401(k) pada tahun 1978, diikuti oleh Johnson &
Johnson, FMC, PepsiCo, JC Penney, Honeywell, Savannah Foods &
Industries, dan Coates, Herfurth, & England.
Dengan mengaplikasikan sistem bagi
hasil, baik secara tunai maupun berbentuk bonus saham,
perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat menunjukkan kepeduliannya
terhadap kesejahteraan karyawannya. Hingga saat ini, program ESOP
maupun 401(k) masih tetap banyak digunakan perusahaan-perusahaan di
Amerika. Tercatat lebih dari 12 juta karyawan ikut serta dalam program
ESOP pada tahun 2005 dan sekitar 42,4 juta karyawan disertakan dalam
program 401(k) pada akhir tahun 2003, beberapa bahkan
mendiversifikasikan beberapa program melalui reksadana baik atas
inisiatif pribadi maupun secara kolektif oleh perusahaan.
Perkembangan pasar modal di Indonesia
Di Indonesia melalui web Bursa Efek Indonesia dipaparkan sebagai berikut.
Secara historis, pasar modal telah
hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah
hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di
Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.
Meskipun pasar modal telah ada sejak
tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan
seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar
modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor
seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari
pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai
kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan
sebagimana mestinya.
Pemerintah Republik Indonesia
mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun
kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai
insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah.
Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:
- 14 Desember 1912 : Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda.
- 1914 - 1918 : Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I
- 1925 - 1942 : Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya
- Awal tahun 1939 : Karena isu politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup.
- 1942 - 1952 : Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II
- 1952 : Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI (1950)
- 1956 : Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif.
- 1956 - 1977 : Perdagangan di Bursa Efek vakum.
- 10 Agustus 1977 : Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama.
- 1977 - 1987 : Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal.
- 1987 : Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
- 1988 - 1990 : Paket deregulasi dibidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meningkat.
- 2 Juni 1988 : Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.
- Desember 1988 : Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.
- 16 Juni 1989 : Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.
- 13 Juli 1992 : Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ.
- 22 Mei 1995 : Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems).
- 10 November 1995 : Pemerintah mengeluarkan Undang -Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996.
- 1995 : Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya.
- 2000 : Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia.
- 2002 : BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading).
- 2007 : Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). (3) http://belajarinvestasi.com
No comments:
Post a Comment